Selasa, 23 Agustus 2011

Sebuah Renungan Hidup : belajar dari Bartimeus (Markus 10 : 46 - 52)

“Buta Jasmani namun Celik Rohani”

(Markus 10 : 46-52)

Menjalani kehidupan dengan keterbatasan fisik tentu tidak menyenangkan. Seandainya dapat memilih akan banyak orang memutuskan ada dalam kondisi “normal” tanpa ada keterbatasan yang menghambat aktivitas. Sangat mudah membayangkan bagaimana sulitnya kehidupan yang harus dijalani oleh Bartimeus saat itu. Status sosial yang melekat “sebagai orang buta dan pengemis” tidak akan pernah berubah dari dirinya – dengan cara apapun – seandainya tidak bertemu dengan Yesus. Belum lagi, Bartimeus bukanlah sosok pribadi yang dibutuhkan kehadirannya dimasyarakat. Tidak berpotensi, menyusahkan, sampah masyarakat bahkan kalau perlu keberadaannya harus disingkirkan dari pemandangan umum.

Mengapa tidak? Sebab Bartimeus adalah seorang buta dan pengemis. Tiap-tiap hari tidak ada pekerjaan lain kecuali duduk dipinggir jalan dan terus-menerus meminta-minta. Ia hidup mengandalkan belas kasihan dan bergantung terhadap kebaikan orang lain. Satu hari makan dan barangkali hari berikutnya tidak dan berulang begitu untuk seterusnya.

Bagi Bartimeus, pupus sudah harapan dan jalan hidupnya. Tidak ada yang menarik bahkan bisa dibanggakan sedikitpun dari keberadaannya, selain kepribadiannya. Alkitab memang tidak mengatakan sejak umur berapa ia mengalami kebutaan. Bisa jadi, ia buta sejak kecil dan tentu bukan kesalahan fatal akibat kesalahan orang tua. Kalau itu benar, ia bisa saja memarahi sang pencipta kenapa dilahirkan dengan ketidaksempurnaan. Ia bisa terus-menerus mengumpat dan tinggal diam dalam kepasrahan menjalani “nasip.” Ia bisa terjebak dalam penyalahan diri kepada sang pencipta “mengapa aku buta? Mengapa aku terlahir dalam keadaan seperti ini?”

Menariknya, ternyata tidak. Ia tidak bisa menggantungkan kebutuhannya kepada orang tuanya. Ia tidak bermalas-malas, tinggal dirumah, semua disediakan dan dipenuhi orang tuanya. Ia bertekad meski keadaan sulit itu tidak harus memaksa tidak melakukan apapun. Ia masih punya hati besar untuk tidak dimanja oleh keadaan. Ia pun memilih dan memutuskan keluar dari rumah, mencari dan berusaha memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri.

Bahkan yang sangat menarik dari Bartimeus adalah kemauan yang keras untuk mewujudkan apa yang hendak dicapai. Ketika ia mendengar bahwa Yesus sedang lewat keluar dari Yerikho, berserulah dia: “Yesus Anak Daud, Kasihinilah aku!” Dia kumpulkan tenaga dan teriak begitu keras hingga Yesus pun mendengarnya. Meski orang sekitar berusaha menghalangi, teriakannya justru semakin keras. Anda bisa bayangkan sebagai pengemis dan mungkin saat itu belum makan, teriakan itu tentunya sangat menguras energinya.

Nah, luar biasanya, teriakan Bartimeus tidak sia-sia. Teriakan itu didengar Yesus bahkan teriakan itu mampu menghentikan langkah Yesus. Padahal tidak ada sedikitpun maksud Yesus untuk bertemu dengan Bartimeus, tetapi teriakan Bartimius sanggup mengubah semuanya. Pikirnya, langkahnya mungkin bisa terhalang dan terhenti karena orang banyak, tapi teriakannya tentu tidak. Dan, ternyata benar! Yesus mendengar dan menghentikan langkah-Nya memperdulikan kebutuhan umat-Nya (ay. 49). Tidak hanya itu, Yesus justru tanyakan apa kebutuhan utama Bartimeus ”apa yang kaukehendaki supaya Aku perbuat bagimu?” Tanpa basa-basi, dengan lantang juga ia menjawab “Rabuni, supaya aku sembuh.”

Saudara, belajar dari Bartimeus, meski keadaan keruh tapi Bartimeus tidak mau hidup terus-menerus dalam kondisi itu. Teriakannya mampu menghentikan langkah Yesus. Teriakannya mampu mengalihkan perhatian Yesus kepadanya. Meski keadaan menghalangi Anda untuk bertemu Yesus tapi seruanmu tidak. Anda bisa berseru dan menghentikan langkah Yesus untuk menaruh belas kasihanya kepada Anda. Pastikan, teriakanmu mengentikan langkah Yesus untuk menaruh belas kasihanya kepada Anda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar